Hiraeth

Izinkan aku menulis kenangmu dalam lembar harianku, Sayang.

Di pertengahan semester beberapa tahun lalu. Melekat dalam ingatan betapa tidak acuhnya aku terhadapmu. Jangankan berbicara, menatap pun aku tak mau. Ruang hati yang kelabu.

Aku memandang malas padamu yang sibuk dikelilingi lebah-lebah itu. Apa kau manis? Apa kau tidak risih dekat dengan semua orang itu? pikirku bertanya-tanya.

Kemudian tanpa kusadari, aku menikmati apa yang kulakukan. Menyenangkan. Bagaimana hari-hariku tidak terlewatkan hanya untuk melihatmu dari bangku belakang. Melihat bagaimana kau tertawa renyah. Ah, manis memang.

Kita tak akrab. Lagipula untuk apa bukan? Tidak sepertimu, aku memilih untuk membuat batasan yang tinggi. Dinding tak tertembus yang dilengkapi dengan pengaman berupa kepura-puraan. Aku terbiasa dengan semuanya.

Paruh waktu pertama terlewati. Aku juga masih seperti biasa. Tidak tahu pemikiran dari antah berantah mengacau. Hari itu aku mendapat pesan pertama darimu. Aku yang sedari awal berniat abai menjadi gagal. Aneh.

Canggung. Kita yang selalu bertemu pandang tetapi tak mampu bertegur sapa. Siapa sangka akan memulai obrolan jarak jauh. Kau menanyakan hobiku dan kujawab hobiku sama denganmu. Untuk apa? Aku tidak tau. Aku hanya merasa itu cara tercepat untuk dekat denganmu. Aku mengiyakan apapun yang kau katakan, perlahan mempelajari semua kesukaanmu.

Aku tau kau suka bermain bakset. Keren kok. Aku mendukungmu. Lagipula kau cukup tinggi, jadi itu keren. Ah, tentu saja apapun yang kau lakukan selalu keren di mataku.

Kita semakin dekat. Apa yang kuabaikan sekarang berada di depan mata. Bertemu pandang, bertukar senyum saling menyapa. Aneh sekali. Dan sejujurnya membuatku gugup.
Tentu saja kau tidak tahu! Aku menggigit bibirku, menahan senyum hanya agar kau tak menyadarinya.

Apa tidak apa-apa jatuh hati padamu? Aku masih bertanya-tanya. Boom! Aku dikejutkan fakta bahwa kau sudah memiliki kekasih. Saat itu aku menyadari, tentu saja seseorang sepertimu memiliki kekasih 'kan? Dasar aku, berkhayal saja. Kalau begini rasanya tidak pantas jatuh hati padamu. Kau juga harusnya menjaga jarak denganku, kan? Jangan seperti ini, nanti kekasihmu cemburu.

Glarrr! Ternyata benar dugaanku, kekasihmu tiba-tiba mengirim pesan padaku. Dia bertanya siapa aku dan mengapa namaku berada di paling atas dalam riwayat obrolanmu. Aku terdiam. Kujelaskan bahwa aku hanya ingin bertanya tugas. Astaga! Mengingatnya saja aku sangat malu. Aku benar-benar tidak tahu kalau dia akan sedetil itu.

Kemudian aku menjaga jarak denganmu. Berbekal dengan sikap kepura-puraanku, kau tidak akan curiga kan? Kita kan hanya teman. Tentunya kita masih seperti biasa meskipun aku ingin menyinggungmu kala itu. Bagaimanapun kau sudah punya kekasih, pikirku.

Tidak jelas bagaimana ceritanya, akhirnya kalian putus. Kekasih-- mantan kekasihmu tidak menghubungiku kok. Dia hanya menghubungiku sekali saja terakhir ya saat itu. Kita dekat kembali, cukup dekat sampai beberapa orang mengira kita menjadi kekasih. Aku dengan dingin menolak mentah-mentah gagasan itu. Meski aku harus mengakui bahwa ada secercah harap dalam hati.

Lucu mengingatnya. Bagaimana kita yang bukan kekasih ini bisa memerankan hal itu dengan baik. Apa mungkin saat itu kita saling menyukai? Pertanyaan yang tak mungkin kudapatkan jawabannya secara langsung.
Aku merasa nyaman, bahkan benar-benar ingin menggenggam tanganmu seperti yang berada di komik yang kubaca.

Beberapa kali harapan itu kuhancurkan. Egoisnya memberimu perhatian, membuatmu merasa aku menyukaimu... dan itu kenyataannya. Hal yang tidak bisa dielak lagi. Faktanya aku jatuh terlalu dalam.

Aku tidak suka janji yang diingkari. Hari itu aku memintamu menemani ke suatu tempat. Hanya sebentar saja, tidak akan menyita waktumu. Namun, kau melupakannya. Kupikir tidak masalah jika hanya sekali, akan kutagih esok. Tetapi hal yang terjadi lagi. Aku tahu itu janji sederhana, tidak perlu kau tepati aku juga tetap suka padamu. Pemikiranmu itu membuatku bertepuk tangan.
Apa kau pikir ketika aku benar-benar suka, akal sehatku berhenti bekerja? Selamat Tuan, kau berhasil mematahkan harapanku. Aku merasa kesal juga bahagia saat itu. Kesal dengan tingkahmu tetapi bahagia bisa sedikit menilaimu. Aku juga sadar bahwa caraku terdengar konyol tetapi ini berhasil bukan?

Beberapa hari kemudian setelah keadaan hatiku membaik, aku juga mulai memperbaiki semuanya. Pemikiranku untukmu, perasaan untukmu, perlahan aku memikirkannya lagi. Aku belum dewasa, bahkan dibilang remaja pun aku masih menolak. Jelas aku masih anak-anak, aku hanya merasa penasaran saja! Seharusnya untuk hal-hal seperti ini, sebagai anak-anak aku hanya perlu menangis saja, semuanya akan baik-baik saja. Orang tuaku akan memperbaiki semuanya. Nyatanya aku salah.

Kita masih bercengkrama seperti biasa. Aku juga tidak keberatan mendengar ocehanmu. Aku yang hebat dalam menyembunyikan rasa atau kau saja yang sengaja menutup mata?

Angin berlalu. Di layar ponsel pintarku, kau mengirim pesan. Mungkin aku saja yang terlalu bahagia. Kupikir pernyataan cinta hanya canda, jadi ku tolak dengan sengaja. Kupikir tidak apa, nyatanya menjadi masalah.
Beberapa hari ini kita tidak sedekat dulu ya? Perbedaan kelas yang kita tempati juga menjadi faktornya. Apalagi sekarang kau sudah memiliki kekasih ya... selamat kalau begitu. Kali ini kau diterima kan? Kudengar perempuan itu memang menyukaimu, tentu saja dia akan menerima pernyataan cintamu. Berbeda denganku.

Kau bertanya apa aku menyesal? Tidak. Aku bahkan tertarik dengan alasanmu menjadikannya kekasihmu. Apa pernyataan cintamu padaku benar hanya kepura-puraan? Apa kedekatan kita saat itu untuk membuatnya cemburu? Atau bolehkah aku berharap bahwa kau hanya patah hati karena ditolak olehku?

Aku dengan bahagianya ikut merayakan kalian. Bertanya terus terang kapan kalian menjadi sepasang kekasih dan mengapa kau tidak memberitahuku.

Jarak yang sebelumnya kita patahkan mulai terbentuk lagi. Perlahan semuanya kembali seperti semula. Raga yang biasa beriringan kini menjauh. Pesan yang hadir di layar ponsel berubah menjadi acara kesukaanku. Baik kau maupun aku tahu bahwa ini telah usai.

Terus terang saja, aku merasakan kelegaan walau disertai rasa sedih. Aku ingin memberitahu dunia bahwa kau kekasihku. Mengenalkanmu pada duniaku. Sekali lagi kukubur semuanya. Kita berada di dunia yang berbeda. Kau yang terlihat dingin itu menjadi hangat. Sedangkan aku dengan keras kepala dan gengsi yang tinggi tetap membeku di hadapanmu. 


***


Aku telah menulis beberapa puisi untukmu. Aku mohon maaf memakai beberapa untuk orang lain. Kau juga tidak akan membaca puisiku kan?
Aku tahu sikapku kekanak-kanakan. Kau juga pasti berpikir aku menyebalkan.

Beberapa tahun ini aku bertemu dengan orang-orang baru. Kukira bisa menggantikanmu. Ternyata tidak bisa. Kau terlalu berharga dan belum ada yang bisa menggantikanmu. Lagipula menjadikan orang lain sebagai pengganti ataupun pilihan kedua bukan hal yang baik 'kan? Kau juga pasti tidak suka kalau aku menjadikan orang lain sebagai penggantimu. Aku mengenalmu cukup baik bukan? Semisal kita bisa bertemu lagi, jangan membenciku ya.

Ada hal yang ingin kutanyakan padamu. Mengapa kau senang sekali memasuki dunia mimpiku? Mengapa hanya disana aku bisa dekat denganmu?

Ah, andai saja aku bisa mengatakan segalanya dihadapanmu. Nyatanya aku hanya berani menulis beberapa untuk disampaikan padamu. Semisal kau membaca ini, ingat aku ya. Seseorang yang mengaku berada di dunia yang berbeda darimu. Seseorang yang jatuh hati padamu sampai belum bisa menghilangkan bayangmu dari pikirannya. Seseorang yang mengingat wajahmu dalam ingatan dan mimpinya. Seseorang yang mengukir namamu dalam hatinya. Dan seseorang ini sedang berusaha menghapus semua tentangmu. Terima kasih.

Comments

Popular posts from this blog

I Want to Die