Bukan Salahku
Dinginnya malam tidak menyusutkan Amira untuk bersantai di balkon kamarnya. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding es itu, lalu duduk menepi. Punggungnya bergetar, perlahan isak tangis terdengar, memecah heningnya malam.
Satu jam berlalu dan baru lima menit lalu bahunya berhenti bergetar, tangisnya mereda. Menghela napas lega, ia berdiri masuk ke kamarnya yang membuat tubuhnya mulai menghangat. Setelah membersihkan wajahnya, ia menatap pantulan dirinya di cermin, "Astaga! Mataku masih kelihatan sembab," ujarnya menyentuh kantung matanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, menarik selimut dan tertidur.
Pagi telah menghampiri, anginnya menyeruak masuk ke kamarnya. Tentu saja Amira sudah terbangun. Sudah jadi rutinitasnya untuk menikmati langit fajar, apalagi saat hari libur, ia memiliki waktu dua jam lebih lama untuk duduk di balkon. Membaca buku, menulis puisi dan meminum teh hangat ataupun secangkir kopi. Monoton sekali.
Alunan piano fantasie-impromptu karya Chopin terdengar dari ponsel pintarnya. Tangan Amira sibuk menulis, sedang bibirnya bergerak membaca apa yang telah ditulisnya. "Rembulan menjadi saksi," katanya seraya terkekeh pelan. Kemudian pandangannya teralihkan, netranya memandang datar ponsel yang bergetar menandakan pesan dari aplikasi chatting, "Paling hanya dari grup, tidak begitu penting." Amira menyesap tehnya, lalu melanjutkan kegiatannya.
"Ah, sudah jam segini rupanya," serunya setelah melihat jam dari ponselnya Ia menutup bukunya dan membereskan beberapa gumpalan kertas yang tersebar di sekitarnya. Kemudian ia pun turun untuk sarapan pagi. "Kak Amira selamat pagi," ujar Lisa cadel, membuat Amira tertawa kecil. "Selamat pagu juga, Lisa," balas Amira seraya mengacak pelan rambut adiknya. Amira duduk di kursi dan mulai memakan sarapannya.
Dan sekarang Amira masih berkutat pada Your Name karya Makoto Shinkai, suara gesekan kertas menjadi salah satu suara di kamarnya. "Harusnya Taki menyadarinya," komentar Amira dengan raut wajah yang masam. Ia hampir memejamkan matanya kalau saja dering ponselnya tidak berbunyi keras. Tangannya meraih ponsel dengan malas, menggeser layar untuk menerima panggilan itu. "Halo-" baru ia mengucapkan salam, telepon itu ditutup.
"Apa-apaan ini! Siapa sih?" Ia menyalakan ponselnya dan lagi panggilan baru kembali masuk, ia menggeser layar ponselnya.
"Amira, apa kau sudah menyelesaikan tugasmu?" suara itu terdengar sebelum Amira sempat menyapa. "Tugas apa? Hari ini Minggu dan aku tidak- ah, belum ingin bertemu tugas!" balas Amira kesal.
"Fisika. Kau sudah berjanji bukan, ingat saat pelajaran biologi aku sudah membantumu!"
Ada suara dengkusan di ujung sana yang membuat Amira mengernyit, "Iya aku tahu! Nanti malam ku kirimkan. Lagipula batas waktu kan hari Kamis."
Pemuda itu tertawa, "Aku tahu tugasmu sudah selesai makanya aku meneleponmu." Kali ini Amira yang mendengkus.
"Apa sudah lebih baik? Maksudku perasaanmu," tanya pemuda itu dengan kaku.
"Apa pedulimu, Drake? Tapi ya, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya." Terdengar suara tawa tipis. "Syukurlah, senang mendengarnya." Kemudian telepon itu berakhir.
"Kalau dipikirkan lebih jauh, bukankah semakin dewasa kita maka semakin pandai berpura-pura. Maksudku dengan sengaja pun kau akan tetap bisa melempar pujian pada orang yang tak kau suka. Atau kau bisa pura-pura terluka untuk mendapat simpati dari orang yang kau suka. Memikirkannya juga, kepercayaan itu sangat rumit, kadang dipaksa untuk mempercayai sesuatu karena banyak orang yang percaya. Bukankah itu mengerikan?" Amira menghentikan bacaannya tepat pada paragraf itu, ia mengutuk siapa pun yang telah membuatnya ragu atas apa yang ia percaya.
Ia tidak percaya dengan apa yang orang lain katakan. Meski pengkhianatan terjadi, apa salahnya memaafkan dan memberikan kesempatan lagi. Namun ia begitu bodoh dan naif! Ia menghancurkan dirinya sendiri.
Kemarin ia mengantuk setelah menangisi orang yang sama. Orang yang hanya menggores luka dan mengikis rasa percaya. Awalnya ia tidak percaya kalau orang sebaik Harry ternyata hanya mempermainkannya. Bualan yang disampaikan meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan sekarang, menyesal pun terasa percuma. Namun, sekali lagi, ia ingin percaya bahwa ia tidak salah untuk memberikan kesempatan ketiga. Anggap saja ini sebagai harga pertemanan tiga tahun.
Sekarang rasanya sangat lega. Setidaknya ia sudah mencoba dan seandainya terjadi ketiga kalinya, ia akan segera mengakhirinya. "Mungkin Drake bisa membantuku untuk menyingkirkan Astoria."
Setelah itu terdengar alunan fur Elise karya Beethoven di ruangan gelap itu. Amira tersenyum tipis, "Bukan salahku. Selamat tinggal, Astoria."
Comments
Post a Comment